Kamis, 29 Desember 2016

[REVIEW] Storm Cloud Marriage - Elsa Puspita

Diposting oleh My Booklicious di 16.44 0 komentar

Judul: Storm Cloud Marriage
Penulis: Elsa Puspita
Penyunting: Septi Ws
Penata Sampul dan Isi: Tim Desain Broccoli
Penerbit: Grasindo
Tahun Terbit: September 2016
ISBN: 9786023756902

BLURB

Sebelum menikah, Atha tahu Gino mengalami masalah kesuburan. Saat itu Atha tidak keberatan. Dia yakin dengan kecanggihan teknologi di bidang kesehatan, dia dan Gino akan mendapatkan cara agar memiliki anak.
 
Namun, memasuki tahun kelima pernikahan, keyakinan Atha mulai goyah. Ditambah dengan kesibukan Gino, membuat kualitas hubungan mereka menurun. Perlahan tapi pasti, hubungan mereka seolah berjarak. Jarak yang bisa semakin membentang luas jika tidak segera diatasi.
 
Ketika belum memiliki anak tidak lagi menjadi masalah terbesar, rumah tangga mereka dihadapkan pada badai sebenarnya. Badai besar yang membuat keduanya memikirkan ulang makna pernikahan. Mengingatkan mereka pada janji suci yang terucap di awal. "I choose you to be my partner in life, and I promise to love you unconditionally. Till death do us part." 

***
  
"What if I really can't give you a child? Will you leave me?" (hal. 34)
 
Atha mencintai Gino apa adanya. Itulah sebabnya, meskipun Gino dinyatakan memiliki masalah kesuburan, Atha tidak mundur dari rencana pernikahan mereka. Tahun pertama pernikahan mereka, Atha masih bersikap santai. Memasuki tahun ketiga, mereka mulai mencoba beberapa alternatif reproduksi buatan. Keinginan Atha untuk segera memiliki momongan sangat besar. Itu juga yang membuatnya membaca berbagai artikel yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan berujung pada menerapkan berbagai aturan untuk Gino.

Berbagai usaha yang mereka lakukan tak kunjung membuahkan hasil. Mereka bahkan sudah tiga kali mencoba program bayi tabung, namun hasilnya tetap sama. Keinginan yang begitu kuat membuat hasil yang mereka terima terasa semakin mengecewakan. Belum lagi frekuensi interaksi keduanya yang semakin kecil membuat hubungan mereka terasa semakin datar.

Kehadiran orang ketiga semakin menambah rumit hubungan Atha dan Gino. Emosi yang meledak-ledak bahkan mengantarkan Atha pada satu kesalahan fatal. Apakah Gino bersedia memaafkan kesalahan Atha dan mempertahankan pernikahan mereka?

***

"Mendapati dirinya infertil, bagi laki-laki lebih merupakan pukulan berat daripada bagi perempuan. Karena ego mereka juga lebih tinggi dari kaum wanita." (hal. 67)
 
Aku setuju jika ada yang mengatakan bahwa masalah momongan menjadi hal yang sangat sensitif, apalagi untuk pasangan yang telah menikah bertahun-tahun dan belum dikaruniai anak. Atha dan Gino. Penulis membuatku merasa prihatin pada keduanya. Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan Atha tentang berbagai aturan untuk Gino, karena Atha melakukan itu atas dorongan keinginannya yang begitu besar untuk segera memiliki anak. Di sisi lain, aku juga salut pada Gino yang bisa menekan egonya hingga menerima semua aturan yang dibuat Atha. 

Kisah Atha dan Gino semakin hidup dengan perbedaan sifat keduanya. Atha terasa lebih banyak penuntut, sedangkan Gino lebih penyabar. Aku juga tentu tak bisa melewatkan tokoh Tika. Sosok sahabat Atha itu digambarkan sebagai sosok yang lebih ceplas-ceplos dan blak-blakan.

Novel ini memiliki alur maju, dengan beberapa selipan narasi sebagai kilas balik. Konfliknya terasa seperti jalan berlubang. Ada saatnya terasa 'aman', ada pula yang membuat pembaca kaget dan gemas. Penyelesaian konfliknya bertahap, satu per satu, sehingga pembaca tetap memiliki pertanyaan sampai bagian akhir novel. Pertanyaan itu mendorongku sebagai pembaca untuk membaca novel ini hingga selesai. Setidaknya, ending yang dipilih cukup membuatku bernapas lega.

Novel ini mengandung banyak istilah kesehatan, khususnya reproduksi buatan, namun tidak banyak penjelasan. Sehingga kalau ingin lebih paham, pembaca bisa mencari sendiri istilah tersebut di berbagai sumber. Selain itu, novel ini berkisah tentang kehidupan rumah tangga, sehingga mengandung beberapa adegan dewasa meskipun masih tergolong wajar dan penyampaiannya tidak secara vulgar.

Secara keseluruhan, novel ini banyak memberikan informasi sekaligus gambaran tentang kehidupan rumah tangga. Tidak menggurui, tidak menakut-nakuti, namun cukup membuat kita waspada. Seperti judulnya, dalam kehidupan rumah tangga pasti ada badai yang menerjang. Tinggal bagaimana kita menghadapinya. 

"There is a rainbow after the storm."

Read More >>>

[REVIEW] Remember The Flavor - Fei

Diposting oleh My Booklicious di 14.10 0 komentar

Judul: Remember the Flavor
Penulis: Fei
Penyunting: Prisca Primasari
Desain Cover: Alvinxki
Penerbit: Haru Media
Tahun Terbit: November 2016
Tebal Buku: 244 Halaman
ISBN: 978-602-6383-06-08

BLURB


Dimas dan Melodi adalah dua sahabat yang saling mencintai, walau kata cinta tidak pernah terucap dari bibir masing-masing. Dimas selalu ada untuk Melodi dan menjadi suporter utamanya. Namun ketika Melodi memilih pergi meninggalkan Dimas untuk mengejar impian, akankah Dimas masih tetap ada untuknya ketika ia kembali?

Karena rasa itu tidak pernah mati, ia selalu ada di hati...


***
 
"Life is like ice cream. Enjoy it before it melts.
 
Melodi--seperti namanya--mencintai dunia tarik suara, dan sudah mendeklarasikan mimpinya sejak kecil bahwa ia ingin menjadi penyanyi. Mimpinya itu tentu bukan tanpa alasan. Melodi ingin seperti mamanya, Citra, yang merupakan seorang penyanyi. Ia selalu takjub saat melihat mamanya menyanyi. Menurutnya, mamanya terlihat begitu bersinar dan memancarkan aura bahagia saat menyanyi. Melodi pun ingin merasakan hal yang sama.

Dimas adalah sahabat Melodi sejak mereka masih mengenakan seragam putih-biru. Pemuda yang hidup biasa saja, tanpa ambisi besar, hanya menemani ayahnya mengelola kedai es krim. Dua belas tahun kebersamaannya dengan Melodi, ia sadar bahwa mimpinya sederhana: ingin orang yang disayanginya bahagia dan ia menjadi gambaran dari kebahagiaan itu.

Perjalanan Melodi dalam meraih mimpinya tidaklah mudah. Ia sudah berkali-kali ikut audisi namun selalu gagal. Belum lagi mamanya tidak ingin Melodi menjadi penyanyi. Dimaslah yang selalu mendukungnya; mengantarkannya ikut audisi, menghiburnya saat ia gagal. Dimas yang selalu menyemangati Melodi, sekaligus menjadi orang pertama yang dicari Melodi saat memerlukan bantuan.

Saat akhirnya Citra mengizinkan Melodi mengejar mimpinya, Dimas dengan berat hati harus merelakan kepergian Melodi. Meski awalnya mereka tetap berkomunikasi, namun bertambahnya kesibukan Melodi di ibukota membuat komunikasi mereka terhambat dan hubungan mereka pun berubah. Dalam kekosongan itu, hadirlah sosok Diandra Arnesti, pembeli pertama es pinacolada buatan Dimas. Sosok wanita dewasa yang mampu mengembalikan keceriaan Dimas.
 
Jika tiga tahun kemudian Melodi kembali, siapa yang akan dipilih Dimas? Melodi 'sang pengejar mimpi' atau Arnesti yang rela berkorban untuk menemani Dimas?

***
 
"Asem." Itu kata yang pertama keluar dari mulutku setelah menamatkan buku ini. Bagimana tidak? Bagian awal cerita langsing menyuguhkan kisah muram karena Melodi gagal lagi saat audisi. Belum lagi saat Melodi terpaksa mengambil alih pekerjaan mamanya, hubungan Melodi dan mamanya yang kian renggang, juga pekerjaan Melodi yang bisa dibilang 'rawan'. Masalah mimpi dan tuntutan kebutuhan terasa begitu kental. Tidak hanya Melodi, Dimas pun mengalami hal yang sama. Niatnya membuat inovasi baru untuk kedai es krim ayahnya belum membuahkan hasil. Tiap membuat es krim rasa baru, hasilnya selalu sama. Tidak ada yang membeli. Perjalanan Melodi dan Dimas terasa tidak seperti dalam novel, tetapi malah terasa begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari.
 
 
Karakter tiap tokohnya pun konsisten. Melodi dengan mimpi yang menggebu-gebu dan Dimas yang lebih sederhana. Tokoh-tokoh lain seperti mama Melodi, ayah Dimas, dan Tanu mendapat porsi yang pas dan membaur dalam cerita. Semua tokohnya terasa penting dan tidak muncul sia-sia. Quote-quote tentang es krim yang diselipkan antara beberapa bab juga semakin membuat novel ini membekas di ingatan.
 
Novel ini menggunakan alur maju. Hanya ada beberapa bagian yang menggunakan kilas balik. Pembaca tak akan kebingungan untuk mengetahui bagaimana Melodi dan Dimas bertemu kemudian menjadi dekat. Penulis menyampaikannya dengan cukup rapi. Dengan ending yang cukup mengagetkan, novel ini tentu memberikan kesan yang cukup membuat pembacanya gemas atau bahkan geram.
 
"Apa impian itu harus selalu berupa sesuatu yang terasa jauh dan butuh dikejar? Tidak bisakah impian itu adalah sesuatu yang dekat dan layak dipertahankan?" (hal.173)
 
Tidak semua orang mau dijadikan 'cadangan'. Aku belajar dari novel ini bahwa setiap orang punya hak untuk diutamakan, didahulukan. Tinggal mencari siapa yang bersedia melakukannya.
Kita mungkin memang tidak akan lupa pada rasa es krim yang biasa dimakan, tapi bukan berarti lidah tak bisa menerima rasa yang lain kan? 


Read More >>>

Kamis, 22 Desember 2016

[REVIEW] Lara Miya - Erlin Natawiria

Diposting oleh My Booklicious di 06.46 1 komentar


Judul: Lara Miya
Penulis: Erlin Natawiria
Penyunting: Jia Effendie
Penerbit: Falcon Publishing
Tahun Terbit: 2016
Tebal Buku: 234 halaman
ISBN: 978-602-60514-3-1

BLURB

Lara (n) sedih; susah hati

Di pojok selatan Jakarta, kau akan menemukannya. Tempat itu tak sepanas bagian Jakarta lainnya. Langit di sana sering serubah seolah mengikuti suasana hati penghuninya. Kau akan bisa menemukannya dengan mudah. Ada banyak rumah di sana. Orang menyebut tempat itu Blue Valley.

Di Blok Tiga, ada sebuah rumah bernuansa warna tanah. Pemiliknya seorang perempuan paruh baya yang mengoleksi benda-benda antik. Kalau kau ingin menemuinya, sebaiknya datanglah pukul empat. Dia selalu pulang untuk minum teh. Seorang gadis berambut biru-ungu juga tinggal di sana. Miya namanya. Dan mungkin kau sudah menebaknya, mereka tidak akur.

Miya tidak pernah mengira akan tinggal di rumah tantenya yang seperti kamp militer. Beberapa hari sebelumnya, Miya masih punya tempat pulang. Namun, hidupnya luluh lantak seketika. Dan kini, dia harus memunguti kembali puing-puing dirinya untuk kembali utuh.

*** 

"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima kepergian orang yang kita sayangi. Sesal yang kamu rasakan mungkin ada karena kamu belum memaafkan dirimu sendiri." (Hal. 123)
 
Miya, seorang social media officer yang tengah melaksanakan tugasnya di Bali, terpaksa pulang setelah mendengar berita buruk yang menimpa keluarganya. Namun rupanya, selain harus menerima nasib malang itu, Miya juga harus menerima kenyataan lain bahwa ia sudah tak memiliki tempat tinggal. Miya terpaksa harus tinggal di rumah tantenya, Amaya. Rumah yang dipenuhi barang-barang antik dengan aturan seketat kamp militer. 
Amaya adalah tante Miya, kakak dari ibunya. Wanita paruh baya itu memutuskan untuk menampung Miya di rumahnya, di Blue Valley, setelah musibah yang menimpa keponakannya tersebut. Mengizinkan Miya tinggal di rumahnya merupakan tantangan tersendiri bagi Amaya. Ia yang terbiasa hidup disiplin dan teratur harus bisa menghadapi karakter Miya yang serampangan dan keras kepala. Meski kehidupan mereka di rumah itu kerap dipenuhi pertengkaran, namun keduanya memiliki kesamaan dalam satu hal: mereka sama-sama merasa kehilangan.

Hidup Miya terasa semakin berat. Selain akibat aturan-aturan yang diterapkan tantenya, juga karena mimpi-mimpi buruk yang kerap menghantuinya setiap malam. Belum lagi kemarahan bosnya di tempat kerja karena ia meninggalkan tugasnya di Bali membuatnya menjadi seorang pengangguran. Lengkap sudah penderitaaannya. Meski begitu, Miya harus tetap bersyukur. Dia masih punya tante Amaya, sahabat yang setia, juga sesosok pria yang selalu menemaninya. Raeka.

Namun bagaimana jika di belakang Miya, tante Amaya dan Raeka sedang merencanakan sesuatu untuknya? Apakah Miya akan menerima rencana itu dengan lapang dada atau memilih menolak kemudian pergi sejauh mungkin?

***

Novel Lara Miya adalah novel ketiga Erlin Natawiria setelah ATHENA: Eureka! (2013) dan The Playlist (2016). Novel ini masuk dalam seri Blue Valley yang diterbitkan Falcon Publishing bersama empat buku lain, yaitu Elegi Rinaldo (Bernard Batubara), Senandika Prisma (Aditia Yudis), Melankolia Ninna (Robin Wijaya) dan Asa Ayuni (Dyah Rinni). Meskipun ini adalah novelnya yang ketiga, namun Erlin mengaku novel ini berbeda dengan novel-novel yang ia tulis sebelumnya. Aku pun sebagai pembaca merasa novel ini lebih sendu, walau tetap memiliki sisi romantis.

Aku sedikit mengetahui gaya menulis Erlin dari beberapa karyanya, termasuk The Playlist dan karya-karya lain yang ditulisnya di beberapa situs kepenulisan. Detail, namun tidak boros. Bab yang terdapat pada novel ini tidak sekadar angka, tetapi juga diberi judul tertentu. Sehingga fungsinya tak hanya sebagai urutan, tetapi sekaligus juga menjadi clue tentang apa yang akan ditemukan pembaca pada bab tersebut. Setiap bab ditutup dengan suatu kalimat yang membuat pembaca bertanya-tanya dan tertarik untuk membaca bagian selanjutnya. 

Novel ini bercerita dengan alur maju. Kejadian-kejadian masa lalu yang berperan penting dalam cerita dibuat kilas balik singkat dengan narasi dan dialog yang jelas sehingga tidak membuat pembaca kebingungan. Seperti pada novel The Playlist, Lara Miya juga ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Dan Erlin membuatnya dengan rapi dan teliti, sehingga karakter masing-masing tokohnya dapat terlihat jelas, baik dari narasi maupun caranya berdialog.

Karakter Miya dan Amaya yang menjadi pusat cerita tergambar jelas. Keduanya memiliki karakter yang bertolak belakang. Miya digambarkan sebagai sosok yang sulit diatur dan keras kepala, sedangkan Amaya serba rapi dan teratur, profesional, disiplin, serta tegas. Pembaca dapat dengan cepat merasakannya, baik lewat narasi maupun dialog dan gesture yang menyertainya. Erlin menggambarkannya dengan apik sehingga pertengkaran di antara Miya dan Amaya terasa begitu hidup. Tokoh lain yang tidak kalah pentingnya yaitu Raeka. Ia cenderung tertutup, pendiam, dan hanya akrab dengan orang yang membuatnya nyaman. Namun Raeka sangat profesional dalam urusan pekerjaan.

Aku selalu menyukai bagaimana Erlin memilih profesi tokohnya dan tidak tanggung-tanggung dalam meleburkan profesi tersebut ke dalam cerita. Profesi Miya sebagai social media officer dan Amaya sebagai pengelola WO tidak hanya dijadikan 'tempelan' tetapi juga menjadi bagian penting yang menyatu ke dalam cerita, bahkan menjadi bagian dari konflik dalam cerita.

Ada satu kesalahan nama yang kutemukan, yaitu di halaman 197. Dalam dialog Nana (sahabat Miya) di halaman tersebut, ada penyebutan 'Bu Miya'. Mungkin seharusnya adalah 'Bu Amaya' atau 'Bu May'. Namun secara keseluruhan, novel ini merupakan novel tentang kehilangan dengan alur yang rapi dan kalimat yang nyaman dibaca. Pembaca akan menemukan berbagai jenis kehilangan, serta bagaimana tiap tokoh menghadapi rasa kehilangan itu. 

"As long as you live, there's always something waiting; and even if it's bad, and you know it's bad, what you can do?
You can't stop living.
-Truman Capote, "In Cold Blood"

Quote tersebut dipilih Erlin sebagai pembuka pada novel ini, dan menurutku sangat pas dengan isi ceritanya. 

Selamat berburu kisah Miya dan Amaya. :)))

Read More >>>
 

My Booklicious Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea