Judul: Déessert
Penulis: Elsa Puspita
Penyunting: Dila Maretihaqsari
Perancang Sampul: Nocturvis
Pemeriksa Aksara: Septi Ws dan Kiki Riskita
Penata Aksara: Nuruzzaman
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: Maret, 2016
Tebal Buku: 318 halaman
ISBN: 978-602-291-121-0
BLURB
Bagi sebagian orang, cinta SMA hanyalah salah satu kenangan
masa remaja yang mudah saja untuk dilupakan. Namun, bagaimana jika ia kembali
hadir di masa kini? Sosoknya yang sekarang jauh berbeda dibandingkan dulu. Ia
lebih tampan, lebih berkarisma, dan lebih berpotensi kembali mencuri hati.
Naya begitu kaget melihat Dewa kembali ke Tanah Air, setelah
selama delapan tahun sekolah dan bekerja di Australia. Karena campur tangan
Lulu, sahabat sekaligus partner bisnis Naya, pria itu kini membantu mengurusi
calon resto baru Naya dan Lulu, sebagai pastry
chef. Namun, semuanya jadi tidak mudah. Di tengah kesibukan jelang
pembukaan Dapoer Ketje, keduanya justru melancarkan aksi perang dingin dengan
ego masing-masing.
Suasana
makin parah degan kehadiran Ava, mantan kekasih Dewa yang datang dari
Australia. Juga Dipati, mantan Naya yang seorang artis. Perang dingin di antara
mereka tampaknya akan meledak, memuntahkan segala ganjalan yang telah tersimpan
selama bertahun-tahun. Sesuatu yang menyadarkan mereka bahwa masa lalu itu
belum selesai sepenuhnya.
***
“Sebelum masalah di antara mereka selesai sepenuhnya, batu besar dan dinding pembatas itu tidak akan hilang.” (hal. 160)
Naya berpacaran dengan Dewa. Tapi, itu dulu, saat mereka
masih SMA. Hubungan mereka sebenarnya masih berlanjut hingga Dewa memutuskan
untuk kuliah di Sydney. Namun sepertinya, peri LDR belum berpihak pada mereka.
Terhambatnya komunikasi menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada kandasnya
hubungan dua sejoli itu. Hingga tahun demi tahun berlalu, keduanya tak saling
berkomunikasi dan sibuk dengan hidupnya masing masing.
Naya memutuskan untuk merantau ke Jakarta setelah tamat
kuliah. Ia kemudian bekerja sebagai presenter acara kuliner dan akhirya
menjalin hubungan dengan Dipati, salah satu aktor yang sedang naik daun. Namun,
repotnya menjadi pasangan public figure
membuat Naya kapok. Kisah keduanya pun berakhir. Saat program acara kuliner
yang dibawakannya berakhir, rasa bosan dan penat membuat Naya kembali ke tanah
kelahirannya, Palembang.
Keberuntungan sedang berpihak pada Naya. Saat mengetahui kepulangannya,
Lulu—sahabatnya—mengajak untuk bekerja sama mendirikan sebuah restoran. Naya
yang memang menyukai bidang kuliner, menyetujui hal itu. Kemudian Naya, Lulu,
dan Arfan—pacar Lulu—mulai sibuk membangun calon resto mereka. Memilih tempat, menyusun
menu, juga merekrut karyawan. Sayangnya, Arfan yang juga merupakan head chef belum menemukan pastry chef yang cocok untuk resto
mereka. Hingga akhirnya kabar itu datang: Dewa akan pulang dari Sydney.
Bagi sebagian orang, berada satu tempat kerja dengan mantan
mungkin bukan hal buruk. Tapi itu tidak berlaku bagi Naya. Luka masa lalu masih
membuatnya marah Dewa. Bahkan pertemuan mereka di Dapoer Ketje—nama resto Naya
dan Lulu—cukup mengagetkan. Pertemuan pertama setelah bertahun-tahun berpisah. Saat
itu, Naya memberikan bogem mentah pada rahang Dewa. Beruntungnya, Dewa masih
sanggup menahan emosi. Karena urusan pekerjaan di Dapoer Ketje memang tidak
bisa ditinggalkan, dan demi agar situasi tetap aman, akhirnya mereka hanya bisa
saling menghindar sambil mengurusi urusan masing-masing.
Namun, sebisa apa pun mereka menghindar, ada saatnya mereka
harus berduaan, seperti saat Lulu dan Arfan sibuk fitting baju atau saat Lulu ikut menjemput orang tua Arfan. Dua
kali diantar pulang oleh Dewa membuat Naya menjadi lebih kalem. Suasana tegang
diantara Naya dan Dewa pun berkurang. Sayangnya, itu belum membuat keduanya
menjadi terbuka dan membicarakan masalah di masa lalu mereka. Kesalahpahaman
masih terus berlanjut. Belum lagi, kedatangan Dipati ke Dapoer Ketje ternyata
membuat Dewa merasa ‘panas’, hingga Naya dan Dewa pun kembali bersitegang.
Bahkan Ava, mantan Dewa, juga datang dari Sydney sambil membawa ‘senjata
rahasia’ yang semakin menjauhkan Naya dari Dewa.
Kalau sudah begitu, apakah Naya dan Dewa akan mampu berdamai
dan menyelesaikan kesalahpahaman itu? Saat Ava menunjukkan sesuatu yang membuat
Dewa terlihat buruk di hadapan Naya, akankah Dewa menyerah atau tetap berjuang
mendapatkan Naya kembali?
“... cuma kamu yang bisa aku bayangin sebagai orang pertama yang aku lihat pas bangun pagi, dan orang terakhir yang aku lihat sebelum aku tidur tiap malam. ...” (hal. 285)
***
Déessert menjadi novel YummyLit Series kedua yang kubaca
setelah Heartwarming Chocolate. Dan dari lubuk hati terdalam, aku mengatakan
CINTA pada novel ini. Jika Heartwarming Chocolate meramu kisah dengan lembut,
maka ini adalah kebalikannya. Kisah Naya dan Dewa yang memang menguras emosi
diwujudkan dalam cerita yang juga meledak-ledak dengan perwujudan emosi yang
tidak ditahan-tahan.
Ide cerita tentang kisah masa lalu yang belum usai memang
sudah banyak di angkat. Tapi itu tidak membuat cerita Naya dan Dewa ini jadi
membosankan. Kak Elsa meramunya dengan baik, hingga dari bahan dasar biasa
mampu menjadi ‘hidangan’ yang istimewa. Gaya berceritanya mengalir, kalimatnya
lugas, dan tidak berbelit-belit. Belum lagi, makanan-makanan yang dibuat Dewa
tidak hanya menjadi tempelan yang diberi detail penjelasan, tetapi juga menjadi
bagian yang menyatu dengan kisah Naya dan Dewa.
Sebagai opening,
Kak Elsa menceritakan Naya dan Dewa yang ‘jadian’ pada tahun 2004. Kemudian
cerita meloncat pada sepuluh tahun kemudian, saat Naya sudah bekerja di
Jakarta, hingga pulang ke Palembang di tahun yang sama. Dan di tahun itu pula,
Dewa pulang dari Sydney. Kemudian latar waktu tetap pada tahun yang sama hingga
cerita mencapai bab terakhir. Keping-keping kisah saat Naya dan Dewa masih
pacaran tersebar dalam beberapa bagian dan disajikan dalam bentuk kilas balik.
Sedangkan untuk bagian closing,
digunakan latar Palembang setahun kemudian. Sayangnya, untuk bagian penulisan
tahun itu terdapat kesalahan penulisan, yaitu “Jakarta, 2004” (hal. 4) dan
“Sydney, 2004” (hal. 16). Jika yang dimaksud adalah sepuluh tahundari masa SMA
mereka, maka seharusnya itu adalah tahun 2014. Tapi selain itu, semuanya sudah
rapi.
Penggunaan sudut pandang orang ketiga juga membuat cerita
ini seimbang. Tidak fokus pada Naya saja atau pun Dewa saja. Kak Elsa
memberikan porsi yang seimbang baik dari segi dialog maupun narasi. Emosi yang
disampaikan juga berimbang, tidak berat di salah satu. Aku sebagai pembaca
dibuat gemas berkali-kali mengetahui bagaimana keras kepalanya dua tokoh utama
novel ini. Ada kalanya kesal pada Naya, ada pula saat untuk kesal pada Dewa.
Karakter tokoh-tokohnya juga mendukung. Dewa yang lebih
cenderung pendiam, dingin, dan cuek berbanding terbalik dengan Naya yang lebih
lepas meluapkan emosinya, entah saat sedih atau pun marah. Kehadiran Lulu juga
sangat membantu, apalagi Lulu sendiri adalah kakak kandung Dewa. Sosok Lulu
adalah sahabat yang menyenangkan. Sebagai kakaknya Dewa sekaligus sahabat Naya,
Lulu menjadi sosok idaman dengan sifatnya yang cenderung netral. Tidak memihak
Dewa, tidak juga memihak Naya. Lulu adalah pemberi saran yang baik, namun bukan
pemaksa. Sosok Damar—kakak Naya—juga baik. Sebagai wali Naya, Damar merupakan
kakak idaman yang siap berdiri paling depan untuk melindungi adiknya. Dipati
juga sebenarnya sosok yang baik, hanya saja kemunculannya tidak sebanyak dan
semenyebalkan Ava. Bagiku, Ava adalah nenek sihir yang egois dan tidak mau
kalah. Kemunculannya benar-benar membawa bencana. Terima kasih pada Kak Elsa
yang telah membuatku ingin menggiling Ava dalam mesin cotton candy. *ini efek kelewat benci*
Secara keseluruhan, novel ini dua jempol banget. Cara
bercerita dan emosi yang tersampaikan membuat lebih dari 300-an halaman ini
tidak sia-sia untuk dibaca. Aku banyak belajar hal penting tentang menguatkan
dan melapangkan hati untuk memberi dan menerima penjelasan orang lain demi
menyelesaikan masalah, selalu mengambil keputusan dengan kepala dingin, dan
tahu waktunya kapan harus ngotot berjuang dan kapan harus pasrah. Dan yang
paling penting, selalu percaya pada hati kecil, karena hati tahu apa yang
diinginkan.
Seperti tagline-nya,
‘hatiku dan hatimu, tahu apa yang dipilihnya’.
PS:
Setelah membaca
novel ini, pembaca akan tahu mengapa judulnya Déessert, bukan Dessert. Artinya sama
nggak, sih? Cari tahu sendiri, ya...